Logo Tirainews.com

YEZ Siak Sebut Penguasaan Lahan melalui Perhutanan Sosial Masih Minim  

YEZ Siak Sebut Penguasaan Lahan melalui Perhutanan Sosial Masih Minim  

Tirainews.com - Perhutanan sosial merupakan salah satu solusi mengatasi ketimpangan penguasaan lahan, dan penerima manfaatnya adalah masyarakat.

Regulasi perhutanan sosial sangat detail diatur dalam Permen LHK No 9 Tahun 2021, tentang Perhutanan Sosial. Dalam regulasi, ada lima skema yang di tawarkan, hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan kemitraan kehutanan.

Demikian dikatakan Direktur Yayasan Ekosistem Zamrud Ahmad Said. Dijelaskan Ahmad Said, Riau memiliki jatah perhutanan sosial seluas 1,2 juta hektare. Sementara capaian 2021 sampai saat ini masih sedikit yaitu berkisar 120 ribu hektare. 

“Artinya masih cukup jauh dari target yang ada kalau dipersentasekan baru 10 persen capaian yang ada,” terang Ahmad Said.

Khusus di Kabupaten Siak, dari hasil pantauan, ada beberapa kampung atau desa yang sudah berhasil memperoleh perhutanan sosial di antaranya Kecamatan Sungai Apit, ada dua kampung yaitu Kampung Rawa Mekar Jaya dan Kampung Teluk Lanus. Sementara Kampung Penyengat sudah masuk usulan dan pada tahap proses. 

Untuk Kecamatan Pusako ada juga usulan perhutanan sosial dan juga masih dalam proses. Sedangkan di Kecamatan Dayun ada juga kelompok yang mendapatkan perhutanan sosial dengan luasan yang bervariasi.

Dengan adanya pencabutan izin PT Nasional Timber Forest, merupakan perusahaan yang bergerak di bidang HTI, bekas areal perusahan mestinya menjadi peluang perluasan wilayah kelola masyarakat untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dengan skema perhutanan sosial.

“Kenyataannya justru menjadi bancakan bagi kelompok, korporasi berkedok koperasi melakukan penguasaan lahan dengan menggunakan skema PBPH hal ini tentu perlu kita pertanyakan komitmen pemerintah daerah maupun pusat,” sesal Ahmad Said.

Hasil penelusuran, Yayasan Ekosistem Zamrud menemukan adanya usulan PBPH pada bekas areal PT NTF atas nama koperasi yang diduga ditunggangi oleh korporasi. 

“Di sisi lain, kami menemukan adanya usulan PBPH di atas areal PIAPS,” celoteh Ahmad Said.

Tidak hanya itu, pihaknya juga menemukan ada persetujuan perhutanan sosial yang sudah mendapat SK, namun tidak jelas pengusul dan penerima manfaatnya.

“Kami menduga kuat, ini ditunggangi oleh salah satu perusahaan HTI terbesar di Riau,” tegas Ahmad Said.

Hal ini dikuatkan dengan data hasil investigasi majalah TEMPO edisi 2 Oktober 2022. “Tentu kami sangat kecewa terhadap kondisi yang ada,” kata Said dengan suara tinggi, setengah meradang.

Harapan pihaknya. pemerintah harus tanggap dengan kondisi yang ada di lapangan. Jika memang pencabutan izin konsesi perusahaan adalah salah satu upaya peningkatan ruang kelola rakyat, mengapa tidak dijadikan perhutanan sosial, mengapa justru dijadikan PBPH. 

PBPH diatur dalam Permen LHK No 8 tahun 2021, dalam peraturan dijelaskan bagaimana tatacara pengusulan PBPH yang cukup berat jika dilaksanakan oleh masyarakat karena tidak gratis.

Sementara usulan perhutanan sosial tidak ada pungutan biaya alias gratis. Format usulan sangat sederhana. Sehingga cukup memungkinkan jika dilakukan oleh masyarakat secara mandiri. Ditambah lagi dengan adanya kelompok kerja (pokja) yang dibentuk oleh Gubernur, bertugas membantu masyarakat dalam pengajuan usulan PS.

“Namun demikian, kami berharap kepada KLHK tetap harus cermat dalam menyetujui usulan PS ini, karena sudah terkonfirmasi bahwa ada beberapa usulan PS yang telah mendapat persetujuan ternyata ditunggangi oleh korporasi,” terang Ahmad Said.