Logo Tirainews.com

Tradisi Khas Palembang yang Semakin Tergerus Zaman

Tradisi Khas Palembang yang Semakin Tergerus Zaman
Foto: merdeka

Tirainews.com - Delapan orang duduk bersila dengan membentuk lingkaran saling berhadapan. Mereka siap menyantap nasi dengan beragam lauknya yang berada di tengah-tengah.

Cara makan tersebut adalah tradisi leluhur Palembang dengan istilah ngobeng. Dari sumber Wikipedia, ngobeng berarti tradisi menghubungkan makanan dalam kegiatan adat Palembang seperti dalam acara pernikahan, khitanan, syukuran, dan perayaan hari-hari keagamaan.

Sayang, kearifan lokal itu kini nyaris tak pernah lagi ditemui, bahkan sudah hilang. Masyarakat setempat telah mengubah cara menghidangkan dengan masa kekinian, ada istilah prasmanan atau juga prancisan.

Bagi kaum milenial, mendengar kata ngobeng sendiri bisa jadi tak pernah sama sekali, apalagi merasakan langsung menikmati makan bersama dalam satu hidangan duduk lesehan. Mereka terbiasa dengan pola kekinian, mengambil makanan di satu meja dan makan sambil berdiri.

Ngobeng atau ngidang awalnya dibawa pendatang Arab ke Palembang. Namun pada masa Kesultanan Demangan, cara penyajian sedih diubah dengan memasukkan kultur Palembang.

Jika budaya Arab menghidangkan makanan dan lauk-pauknya di satu tempat dan dimakan secara bersama-sama oleh empat orang atau lebih, ngobeng versi Palembang sedikit berbeda. Ngobeng menyediakan nasi, baik nasi putih maupun masih minyak dan lauk-pauknya di wadah terpisah, namun dihidangkan dalam satu tempat.

Kepala Bidang Sejarah Dinas Kebudayaan Palembang Ismail mengatakan, ngobeng mulai lenyap sejak munculnya istilah prasmanan atau prancisan beberapa belas tahun lalu. Saat ini, tradisi ngobeng bisa ditemukan di kawasan Tangga Buntung dan Kelurahan 13-14 Ulu Palembang, itu pun terbilang jarang.

"Ngobeng atau ngidang sudah hampir punah. Kalau dulu setiap hajatan pakai cara itu, sekarang masyarakat lebih memilih prasmanan atau prancisan," untuk Ismail.

Secara teknis, ngobeng dilakukan dengan mengoper hidangan ke tempat makan yang dilapisi taplak meja. Mengoper tersebut bertujuan agar makanan segera tiba dan meringankan orang uang membawanya.

Biasanya ada orang yang ditunjuk bertugas membawa baskom atau ceret berisi air untuk tamu mencuci tangan. Sebab, tamu makan tanpa menggunakan sendok.

"Setelah itu, tamu dan semua orang yang hadir bisa makan bersama. Satu hidangan diisi delapan orang duduk bersila atau lesehan, mereka nikmati macam-macam lauk pauk," kata dia.

Ngobeng sendiri memiliki banyak nilai filosofis atau tujuan. Diantaranya terjalin komunikasi antar tamu di tempat makan, mereka bisa bercengkerama di satu hidangan, gotong royong, menghormati yang lebih tua karena didahulukan, dan membiasakan diri hidup sederhana karena duduk lesehan.

"Banyak cerita dibalik ngobeng, makan puas, sesama tamu akrab, komunikasi terjalin," kata dia.

Didaftarkan ke WBTB dan UNESCO Dinas Kebudayaan Palembang mencoba melestarikan tradisi ngobeng di masa kekinian. Caranya adalah mengenalkan ngobeng ke kaum milenial dalam sebuah gelaran 'Rentak Melayu Tradisi Ngobeng dan Ngidang' di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Selasa (26/11). Even ini bersamaan juga mengenang wafatnya Sultan Mahmud Badaruddin II pada 26 November 1852 saat pengasingan di Ternate.

Kepala Dinas Kebudayaan Palembang Zanariah mengaku ingin kembali menumbuhkan dan melestarikan tradisi ngobeng. Pihaknya berencana menggelar acara serupa setiap tahun dan dalam acara pemerintahan.

"Kami ingin kaum milenial ataupun masyarakat umum peduli dan bangga dengan budaya sendiri, bisa kita lestarikan tradisi ini," kata dia.

Selain itu, pihaknya berencana mendaftarkan tradisi ngobeng ke Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dan UNESCO pada 2020. Tujuannya tak lain agar tidak diklaim bangsa atau daerah lain.

"Ini adalah warisan leluhur, kearifan lokal tempo dulu yang perlu dijaga. Kami minta dukungan masyarakat Palembang agar terlaksana," tukasnya.